REVIEW JURNAL 1
Kontribusi Kepribadian Introvert
Terhadap Kecanduan Internet pada
Mahasiswa
Meiyanti Prihati
Anita Zulkaida, SPsi., MSi
Intaglia Harsanti, SPsi., MSi
Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma
PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat semakin memudahkan manusia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini adalah
teknologi informasi dimana salah satunya adalah internet. Internet digunakan
sebagai media untuk memperoleh atau mengakses informasi apapun dengan mudah dan
cepat. Keuntungan dari internet antara lain dapat
mengakses informasi seperti informasi kesehatan, berita terbaru bahkan mencari literatur, sebagai alat komunikasi, dan mungkin
juga untuk mencari
hiburan.
Internet
tidak hanya memberikan keuntungan, tetapi juga bisa memberikan kerugian bagi penggunanya
apabila tidak digunakan secara bijak. permasalahan
dari penggunaan internet yang menjadi sorotan para ahli psikologi adalah
mengenai kecanduan internet. Sebagai sebuah topik kajian yang relatif baru,
istilah internet addiction memperoleh tanggapan yang serius dari
kalangan akademik setelah istilah tersebut dimunculkan oleh Kimberly Young pada
tahun 1996 (Young, 1999).
Internet addiction disorder adalah
pola penggunaan internet yang maladaptif, yang menimbulkan adanya
distress secara klinis yang terwujudkan dalam tiga atau lebih kriteria internet
addiction disorder, yang terjadi kapan pun selama 12 bulan yang nsama
(Goldberg, 1997).
Salah satu
pengguna internet adalah mahasiswa. Mahasiswa lebih rentan untuk menjadi
pecandu internet. Kesibukan dan aktivitas yang banyak dari mahasiswa biasanya membuat mahasiswa menjadi
tergantung pada internet.
Seseorang yang memiliki kepribadian introvert
cenderung akan kecanduan terhadap internet. Hal ini bisa dilihat dari hasil
penelitian Koch dan Pratarelli (2004) yang menggunakan sampel sebanyak 240 mahasiswa
yang terdiri dari 97 laki-laki dan 143 perempuan. Penelitian tersebut
membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kepribadian introvert
dan ekstrovret. Kepribadian introvert cenderung lebih nyaman berkomunikasi
di internet untuk bersosialisasi secara deindividuasi dimana pengguna
tersebut mengaburkan identitasnya. Menurut Jung (dalam Chaplin, 2006) seseorang
yang introvert cenderung menarik diri dari kontak sosial, minatnya lebih
mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalaman sendiri. Pribadi introvert menunjukkan
libidonya ke dalam dan tenggelam menyendiri ke dalam diri sendiri, khususnya
dalam saat-saat mengalami ketegangan dan tekanan batin. Seorang introvert cenderung
merasa mampu dalam upayanya mencukupi diri sendiri, sedangkan orang ekstrovert
membutuhkan orang lain.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi kepribadian introvert
terhadap kecanduan internet pada mahasiswa.
LANDASAN TEORI
Allport (dalam Hall & Lindzey,
1993) mengemukakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamik dalam individu
atas sistem-sistem psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap
lingkungannya. Pendekatan tipologis yang saat ini banyak digunakan adalah
tipologi introvertekstrovert yang mula-mula dikembangkan oleh Jung
(dalam Riyanti dan Prabowo, 1998) yang lalu dilanjutkan oleh Eyesenck (dalam
Riyanti dan Prabowo, 1998). Jung mengatakan bahwa kepribadian manusia dapat
dibagi menjadi dua kecenderungan ekstrim berdasarkan reaksi individu terhadap pengalamannya
yaitu kepribadian ekstrovert dan introvert.
Manusia-manusia yang bertipe introvert
terutama dipengaruhi oleh dunia subyektif, yaitu dunia di dalam dirinya
sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam pikiran, perasaan, serta
tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. (Jung,
dalam Sujanto dkk, 2008). Kepribadian introvert memiliki ciri-ciri
antara lain pendiam, jiwanya tertutup, mengambil jarak kecuali pada teman dekat,
tidak mengikuti impuls yang muncul pada situasi tertentu, mudah tersinggung,
pesimistik, pasif, teliti, kurang suka pada lelucon terlebih lelucon mengenai
seks, cenderung untuk tetap pada pendirian (keras kepala), rendah hati, sukar
tidur, senang introspektif, berencana jauh ke depan, serius, menyukai hidup yang
teratur, jarang bersikap agresif, dapat diandalkan, agak kaku, penyesuaiannya
dengan dunia luar kurang baik, sukar bergaul, kurang dapat menarik hati orang
lain, apati, mudah gagap, mudah melamun perbendaharaan kata-kata baik, tidak menyukai
kegembiraan, dan menarik diri.
Goldberg (1997) menyebut kecanduan
internet dengan internet addiction disorder yaitu pola penggunaan
internet yang maladaptif, yang menghasilkan pengerusakan atau distress secara klinis
yang terwujudkan dalam tiga atau lebih kriteria internet addiction disorder,
yang terjadi kapanpun selama 12 bulan yang sama. Kriteria diagnostik kecanduan
internet dari Young (1996; 1999) yang terdiri dari merasa keasyikan dengan
internet, perlu waktu tambahan dalam mencapai kepuasan sewaktu sewaktu menggunakan
internet, tidak mampu mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan
internet, merasa gelisah, murung, depresi, atau lekas marah ketika berusaha mengurangi
atau menghentikan penggunaan internet, mengakses internet lebih lama dari yang diharapkan,
kehilangan orang-orang terdekat, pekerjaan, kesempatan pendidikan, atau karir
gara-gara penggunaan internet, membohongi keluarga, terapis, atau orang-orang terdekat
untuk menyembunyikan keterlibatan lebih jauh dengan internet, dan menggunakan
internet sebagai jalan keluar mengatasi masalah atau menghilangkan perasaan
seperti keadaan tidak berdaya, rasa bersalah, kegelisahan, atau depresi.
Secara umum mahasiswa adalah suatu
kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya dalam ikatannya dengan perguruan
tinggi (Sarwono, 2002). Di Indonesia, secara umum mahasiswa berusia sekitar
umur 18- 21 tahun. Berdasatkan usia tersebut, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai
remaja akhir.
METODE PENELITIAN
Data
diperoleh melalui kuesioner yang di sebar dengan menggunakan metode try out
terpakai pada mahasiswa Universitas Gunadarma. Pada penelitian ini didapat 73
kuesioner untuk dianalisis. Skala yang digunakan untuk mengukur skala kepribadian
introvert berbentuk skala Osgood dan skala kecanduan internet berbentuk skala
Likert. Berdasarkan analisa data yang dilakukan
dengan menggunakan regresi sederhana diperoleh F sebesar 12,764 dengan
signifikansi sebesar 0,001 (p<0>0>
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat kontribusi yang signifikan dari kepribadian introvert terhadap
kecanduan internet pada mahasiswa. Lebih lanjut dari hasil penelitian diketahui
bahwa kontribusi yang diberikan kepribadian introvert terhadap kecanduan
internet sebesar 15,2 %. Faktor lain yang mendukung mahasiswa kecanduan
internet seperti usia, jenis kelamin, fakultas, tempat tinggal, uang saku
perbulan, rata-rata pengeluaran untuk penggunaan internet dalam sebulan, frekuensi
mengakses internet, dan rata-rata waktu online dalam sehari.
Dari hasil peneltian, dapat diketahui
bahwa usia yang memiliki kepribadian introvert tertinggi yaitu partisipan
dengan usia 18-19 tahun, sedangkan yang memiliki kecanduan internet tertinggi
yaitu partisipan dengan usia 22 tahun. Jenis kelamin yang memiliki kepribadian introvert
tertinggi adalah partisipan wanita, sedangkan yang memiliki kecanduan internet
tertinggi adalah partisipan pria. Untuk fakultas yang memiliki kepribadian
introvert dan kecanduan internet paling tinggi adalah partisipan yang berasal
dari fakultas ekonomi. Sedangkan pada kategori tempat tinggal, partisipan yang tinggal
bersama orang tua memiliki kepribadian introvert paling tinggi dan yang
memiliki kecanduan internet tertinggi adalah partisipan yang tinggal di tempat kost.
REFERENSI:
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1109/1/10506263.pdf
REVIEW JURNAL 2
HUBUNGAN BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA
PENDUDUK MISKIN
Nurul Arbiyah, Fivi Nurwianti Imelda, dan Ika Dian Oriza
PENDAHULUAN
Banyaknya
jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan benar-benar membutuhkan
perhatian yang serius dari berbagai pihak, terlebih lagi mengingat berbagai
dampak negatif yang muncul akibat kemiskinan, seperti gizi buruk atau berbagai
tindakan kriminal. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya,
merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menuntut pemecahan (Soetomo,
1995).
Hal inilah yang
coba dilihat dalam psikologi positif, yang berupaya untuk melihat sisi positif
sosok manusia. Pemrakarsa psikologi positif, Seligman (2005), melihat bahwa
ditengah ketidakberdayaannya, manusia selalu memiliki kesempatan untuk melihat
hidup secara lebih positif. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bisa bangkit
dari segala ketidakberdayaan dan memaksimalkan potensi diri. Psikologi positif
melihat manusia sebagai sosok yang mampu menentukan cara memandang kehidupan.
Psikologi positif berpusat pada pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai
segala hal yang terjadi dalam dirinya, dimana pemaknaan ini bersifat sangat
subyektif. Untuk itulah, pemaknaan hidup yang positif merupakan hal yang sangat
penting agar manusia, dengan berbagai latar belakangnya, dengan berbagai
subyektivitas yang dimilikinya, bisa meraih kebahagiaan atau disebut dengan
istilah subjective well-being.
Istilah subjective
well-being didefi nisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif
seseorang tentang hidupnya yang meliputi penilaian emosional terhadap
berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap
kepuasan dan pemenuhan hidup. Menurut Seligman (dalam Peterson, 2004)
salah satu upaya untuk meraih subjective well being adalah dengan
memiliki enam keutamaan hidup, yakni wisdom and knowledge, courage, humanity,
justice, temperance, dan transcendence. Dari enam keutamaan
tersebut, maka muncullah 24 karakter kekuatan (characters of strength)
yang bisa dimiliki oleh manusia untuk meraih keutamaan hidup, dimana salah
satunya adalah bersyukur (gratitude). Beberapa penelitian membuktikan gratitude
seringkali muncul sebagai karakter atau kekuatan yang dominan dan menonjol
dibanding kekuatan lainnya. Survey yang dilakukan oleh Gallup (1998, dalam
Emmons & McCullough, 2003) terhadap remaja dan orang dewasa Amerika
menunjukkan bahwa lebih dari 90% responden mengekspresikan rasa syukur sehingga
membantu mereka untuk merasa bahagia.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hubungan bersyukur dan subjective well being pada
penduduk miskin.
LANDASAN TEORI
Bersyukur di definisikan sebagai rasa berterima kasih dan
bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik karunia tersebut merupakan
keuntungan yang terlihat dari orang lain atau pun momen kedamaian yang
ditimbulkan oleh keindahan alamiah (Peterson & Seligman, 2004). Secara
singkat, orang yang bersyukur adalah seseorang yang menerima sebuah karunia dan
sebuah penghargaan, dan mengenali nilai dari karunia tersebut. Orang yang
bersyukur mampu mengidentifi kasikan diri mereka sebagai seorang yang sadar dan
berterima kasih atas anugerah Tuhan, pemberian orang lain, dan menyediakan
waktu untuk mengekspresikan rasa terima kasih mereka (Peterson & Seligman,
2004).
Subjective well
being merupakan konsep yang luas, meliputi
emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan
kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas, Oishi, 2005). Seseorang dikatakan
memiliki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas
dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang
merasakan emosi negatif. Istilah subjective well-being didefinisikan
sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini
meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang
sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup
(Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
METODE PENELITIAN
Pengambilan
data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan data dengan kuesioner.
Kuesioner yang digunakan terdiri dari dua bagian yaitu alat ukur bersyukur dan
alat ukur subjective well being. Alat ukur bersyukur disusun oleh
peneliti berdasarkan kombinasi antara komponen bersyukur (Fitzgerald, 1998) dan
jenis bersyukur (Peterson & Seligman, 2004) yang terdiri atas 34 item.
Sementara itu, alat ukur subjective well being disusun oleh peneliti
berdasarkan komponen penyusun subjective well being yang dikemukakan
oleh Diener yang terdiri atas 29 item. Kedua alat ukur ini menggunakan
skala tipe likert dengan 6 pilihan jawaban.
METODE
ANALISIS DATA
Untuk
menentukan tingkat bersyukur dan subjective well being partisipan,
digunakan norma kelompok menggunakan metode stanine. Untuk melihat
hubungan antara bersyukur dan subjective well being, digunakan teknik
korelasi Pearson Product Moment. Selain itu, peneliti juga menggunakan
Statistik Deskriptif untuk mengetahui mean dan frekuensi. Teknik
perhitungan statistik lain yang juga dilakukan oleh peneliti adalah t-test,
Analysis of Variance (ANOVA) satu arah, dan Regresi Linear. Seluruh
perhitungan statistik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program
komputer Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 15.0. for
Windows.
KESIMPULAN
Dari penelitian
ini terdapat hubungan positif antara bersyukur dengan subjective well being pada
penduduk miskin, artinya semakin bersyukur seseorang, maka subjective
well beingnya akan semakin tinggi, maka akan memiliki evaluasi
kognitif dan afektif yang positif tentang hidupnya, begitu pula
sebaliknya. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Emmons & McCullough (2003) yang menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan treatment
bersyukur memiliki skor subjective wellbeing yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok lainnya. Penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa dengan bersyukur, seseorang akan mendapatkan keuntungan secara emosi dan
interpersonal.
KAITANNYA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI (KOMPUTER)
KAITANNYA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI (KOMPUTER)
Kaitan jurnal ini dengan komputer adalah dalam metode analisa data, yang penelitian ini menggunakan program SPSS 15.0 for Windows untuk penghitungan secara statistik. Penghitungan dengan menggunakan komputer sangat membantu peneliti dalam memudahkan pekerjaannya dan mempercepat proses penghitungan data.
REFERENSI :
REVIEW JURNAL 3
HUBUNGAN
PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK
TERHADAP
PERILAKU REMAJA DI KOTA MAKASSAR
Christiany
Juditha
PENDAHULUAN
Mengakses internet saat ini sudah menjadi
rutinitas kebanyakan masyarakat. Tidak hanya dengan menggunakan komputer/laptop
saja tetapi kini dapat mengaksesnya melalui handphone dengan berbagai
kemudahan yang ditawarkan oleh sejumlah provider telepon selular. Saat ini masyarakat
tidak hanya menggunakan internet untuk berinteraksi dengan orang lain, namun
juga menggunakannya sebagai sebuah sarana sosialisasi, membentuk hubungan yang
lebih bertahan lama, bahkan malah dapat berkembang secara nyata di dalam
kehidupan sosial. Penemuan yang disampaikan oleh manajer umum dari perusahaan
penelitian Hitwise, Bill Tancer mengungkapkan bahwa semakin meluasnya audience
pengguna internet, mengungkap fakta bahwa trafik pencarian untuk situs jejaring
sosial atau situs pertemanan seperti Friendster, FB, MySpace, Hi5, Orkut,
tagged dan sebagainya, telah mengalahkan para pencari situs porno. Ini menjadi
indikator trend besar apa yang ada di masa mendatang (Tancer, 2008). Facebook
(FB) merupakan salah satu situs pertemanan atau jejaring sosial yang belakangan
sangat berkembang pesat dibanding situs pertemanan lainnya. FB sendiri adalah
website jaringan sosial dimana para pengguna dapat bergabung dalam komunitas
seperti kota, kerja, sekolah, dan daerah untuk melakukan koneksi dan
berinteraksi dengan orang lain. Orang juga dapat menambahkan teman‐teman mereka, mengirim pesan,
dan memperbarui profil pribadi agar orang lain dapat melihat tentang dirinya.
Saat ini penggunaan FB di Indonesia sudah
menjadi rutinitas sehari‐hari,
mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pengusaha, pengacara, politisi,
artis, tokoh‐tokoh
dunia dan lain‐lain,
dan dari berbagai kelas dan golongan karena masalah penggunaan internet sudah bukan
barang yang mahal. Hal ini disebabkan hanya dengan beberapa ribu rupiah saja
sudah bisa menjelajah ke dunia maya di warnet‐warnet pinggir jalan sehingga penggunaan
FB merupakan hal yang biasa seperti penggunaan internet pada umumnya. Sekarang
ini Indonesia telah menjadi 'the Republic of the FB'.1 Ungkapan ini
terinspirasi oleh perkembangan penggunaan FB oleh masyarakat Indonesia yang
mencapai pertumbuhan 64,5% pada tahun 2008. Prestasi ini menjadikan Indonesia
sebagai 'the fastest growing country on FB in Southeast Asia'. Bahkan, angka
ini mengalahkan pertumbuhan pengguna FB di China dan India yang merupakan peringkat
teratas populasi penduduk di dunia (Sahana, 2008). Demam FB menggejala di
Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan oleh Tempo Interaktif 9 Februari 2009,
dimulai pada pertengahan tahun 2008. Bahkan disebutkan juga hingga pertengahan
2007, FB hampir tidak dilirik pengguna Internet.
LANDASAN TEORI
Situs jejaring
social
Situs jejaring sosial yang dalam bahasa
Inggris disebut social network sites merupakan sebuah web berbasis
pelayanan yang memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat daftar pengguna
yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs
tersebut. Tampilan dasar situs jejaring sosial ini menampilkan halaman
profil pengguna, yang di dalamnya terdiri dari identitas diri dan foto pengguna
(Dirgayuza. 2008: 6‐9).
Kemunculan situs jejaring sosial ini
diawali dari adanya inisiatif untuk menghubungkan orang‐orang dari seluruh belahan
dunia (Watkins, 2009). Situs jejaring sosial pertama, yaitu Sixdegrees.com mulai
muncul pada tahun 1997. Situs ini memiliki aplikasi untuk membuat profil,
menambah teman, dan mengirim pesan. Tahun 1999 dan 2000, muncul situs sosial lunarstorm,
live journal, Cyword yang berfungsi memperluas informasi
secara searah. Tahun 2001, muncul Ryze.com yang berperan untuk
memperbesar jejaring bisnis. Tahun 2002, muncul friendster sebagai situs
anak muda pertama yang semula disediakan untuk tempat pencarian jodoh. Dalam kelanjutannya, friendster ini
lebih diminati anak muda untuk saling berkenalan dengan pengguna lain.
Tahun 2003, muncul situs sosial interaktif lain menyusul kemunculan friendster,
Flick R, You Tube, Myspace. Hingga akhir tahun 2005, friendster
dan Myspace merupakan situs jejaring sosial yang paling diminati.
Memasuki tahun 2006, penggunaan friendster
dan Myspace mulai tergeser dengan adanya FB. FB dengan tampilan yang
lebih modern memungkinkan orang untuk berkenalan dan mengakses informasi seluas‐luasnya. Tahun 2009, kemunculan
Twitter ternyata menambah jumlah situs sosial bagi anak muda. Twitter
menggunakan sistem mengikuti ‐
tidak mengikuti (followunfollow), dimana kita dapat melihat status
terbaru dari orang yang kita ikuti (follow). Keberadaan situs jejaring
sosial ini memudahkan kita untuk berinteraksi secara mudah dengan orang‐orang dari seluruh belahan
dunia dengan biaya yang lebih murah dibandingkan menggunakan telepon (Aleman
& Wartman, 2009:120‐123).
Selain itu, dengan adanya situs jejaring sosial, penyebaran informasi dapat berlangsung
secara cepat (Lin & Atkin, 2002: 183). Namun kemunculan situs jejaring
sosial ini menyebabkan interaksi interpersonal secara tatap muka (facetoface)
cenderung menurun. Orang lebih memilih untuk menggunakan situs jejaring sosial
karena lebih praktis. Di lain pihak, kemunculan situs jejaring sosial ini membuat
anak muda dapat mengakses internet. Dalam kadar yang berlebihan, situs jejaring
sosial ini secara tidak langsung membawa dampak negatif, seperti kecanduan
(addiksi) yang berlebihan dan terganggunya privasi seseorang.
Perilaku
Manusia
Perilaku
manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi
oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Bimo Walgito (2003) berpendapat bahwa sikap yang ada pada seseorang akan
memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan.
Sementara sikap pada umumnya mengandung tiga komponen yang membentuk struktur
sikap, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Selanjutnya
menurut Myers (1983), perilaku adalah sikap
yang diekspresikan (expressed attitudes). Perilaku dengan sikap saling
berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Kurt Lewin (1970)
berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara
kekuatan‐kekuatan pendorong (driving
forces) dan kekuatankekuatan penahan (restrining forces). Perilaku
ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut
didalam diri seseorang. Kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang itu, yaitu 1. Jika kekuatan‐kekuatan
pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus‐stimulus yang mendorong
untuk terjadinya perubahan‐perubahan
perilaku. Stimulus ini berupa informasiinformasi sehubungan dengan perilaku yang
bersangkutan. 2. Jika kekuatan kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi
karena adanya stimulus‐stimulus
yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. 3. Jika kekuatan pendorong meningkat,
kekuatan penahan menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi
perubahan perilaku.
METODE PENGUMPULAN DATA
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner kepada
responden dan wawancara mendalam kepada informan berkompeten. Teknik analisis
data yang digunakan secara deskriptif kuantitatif. Data diolah dengan program
SPSS 17. Dan setelah diolah, dikategorisasikan dan kemudian disimpulkan.
ANALISIS DATA
Dari hasil penelitian ini, responden
yang terbanyak adalah remaja SMP sebanyak 52, 45%, kemudian remaja SMU sebanyak
26, 47% dan remaja yang telah kuliah sebanyak 21,08%. Adapun responden yang
paling banyak adalah remaja yang duduk dikelas 9 atau kelas 3 SMP sedangkan
yang paling sedikit adalah remaja yang berkuliah pada semester 7. Hal ini menunjukkan
bahwa remaja pengguna FB terbanyak adalah pelajar SMP yang memiliki rentang
usia 11‐15 tahun. Dimana pada
usia ini remaja telah memiliki pemikiran operasional formal dan logis. Remaja
usia ini juga terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya
serta tidak terlepas dari lingkungan sosial. Dimana hampir semua teman mereka
telah menggunakan FB sebagai suatu keharusan maka remaja lainnya juga ikut
membuat akun yang sama.
KESIMPULAN
Terdapat
hubungan antara penggunaan situs jejaring
sosial dengan perilaku remaja di kota Makassar. Perilaku remaja tersebut dalam
bentuk teman mereka bertambah, memperoleh informasi, menambah pengetahuan dan
juga menghibur. Namun melalui FB juga, waktu remaja banyak terbuang karena
tanpa mereka sadari FB cenderung membuat kecanduan serta lupa waktu meski mayoritas
dari mereka menggunakan FB di waktu senggang.
REFERENSI
:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/13111122_1410-3346.pdf
REVIEW JURNAL 4
PERANAN KESEPIAN DAN KECENDERUNGAN INTERNET ADDICTION DISORDER TERHADAP PRESTASI BELAJAR
MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA
Didin Mukodim, Ritandiyono, Harumi Ratna
Sita
Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
PENDAHULUAN
Setiap individu adalah berbeda, dan
tidak semuanya dapat menjalin hubungan sosial dengan baik, tanpa rintangan yang
berarti. Kegagalan atau hambatan dalam interaksi sosial yang memuaskan
dapat
mengakibatkan seseorang merasa terisolasi dan kesepian serta dapat menimbulkan
akibat-akibat
yang
tidak baik (Weiss dalam Peplau dan Perlman, 1982). Kesepian merupakan kondisi
yang tidak menyenangkan, dan berdasarkan pengalaman berhubungan dengan tidak
mencukupinya kebutuhan akan bentuk hubungan yang akrab atau intimasi (Sullivan
dalam perlman & Peplau, 1982). Sermat (dalam Middlebrook, 1980) berpendapat
bahwa kesepian yang dialami oleh seseorang karena aktivitas-aktivitas rutinnya
dalam belajar di sekolah maupun di rumah akan mempengaruhi prestasi belajarnya.
Ia merasa jenuh dan tidak termotivasi untuk belajar, sehingga prestasi belajarnya
menjadi merosot. Adanya perkembangan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, yaitu adanya internet, seseorang yang kesepian akan menghabiskan
waktunya untuk menjelajahi internet (surfing,
browsing, dan lainnya). Mereka menghabiskan perasaan
kesepiannya tersebut dengan cara memasuki dunia on-line
atau menjelajahi cyberspace selama
beberapa jam. Apabila kegiatan untuk bermain internet dilakukan secara
berlebihan maka dapat dikatakan tidak wajar.
Suler dan
Young, (1996) menyatakan bahwa beberapa orang mengalami kesulitan untuk
mengetahui kapan harus berhenti menggunakan internet, karena adanya aspek
sosial, hubungan
secara interpersonal dengan orang lain, yang sedemikian
menstimulasi, dan menguntungkan (rewarding and
reinforcement). Misalnya saja seorang
mahasiswa dari perguruang tinggi terkenal yang memasuki chatroom dan menghabiskan waktu 60 jam
seminggunya. Dalam setahun prestasi
belajar untuk matakuliah-matakuliah yang dia ambil merosot dengan
tajam. Dia mulai menarik diri
dari teman-temannya di dunia nyata, dan mulai mengeluhkan
simptom-simptom beberapa penyakit
yang tidak dapat diidentifikasi oleh para dokter (Young, 1998).
Individu-individu tersebut yang apabila memenuhi kriteria diagnostik mengenai
internet addiction disorder, akan disebut sebagai individu yang mengalami
kecanduan terhadap internet (Goldberg, 1996).
TINJAUAN PUSTAKA
Prestasi Belajar
Winkel (1987) menyatakan bahwa
prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan
hasil belajar siswa. Penilaian yang dimaksud adalah penilaian yang dilakukan
untuk menentukan seberapa jauh proses belajar dan hasil belajar siswa telah
sesuai dengan tujuan instruksional yang sudah ditetapkan, baik menurut aspek
isi maupun aspek perilaku. Loekmono (1988) berpendapat bahwa prestasi belajar
merupakan perwujudan atau aktualisasi dari kemampuan dan usaha belajar siswa
dalam waktu tertentu. Nana Sudjana (1992) memberikan pengertian prestasi
belajar sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa menerima
pengalaman belajarnya. Dengan mengetahui prestasi belajar siswa, guru dapat
menyatakan kedudukannya dalam kelas, apakah termasuk siswa yang pandai, sedang,
atau kurang. Biasanya prestasi belajar dinyatakan dengan angka, huruf atau
kalimat dan dicapai pada periode-periode tertentu.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Prestasi Belajar : Prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu (Syah 1995, Sudjana 1992): a).
Faktor internal, yaitu faktor dari dalam diri siswa yang meliputi kondisi
fisiologis dan psikologis siswa. b). Faktor eksternal siswa, yaitu faktor dari
luar diri siswa, yang meliputi kondisi lingkungan sosial dan non-sosial.
Kesepian
Kesepian
merupakan kondisi yang tidak menyenangkan, dan berdasarkan pengalaman
berhubungan dengan tidak mencukupinya kebutuhan akan bentuk hubungan yang akrab
atau intimasi (Sullivan dalam perlman & Peplau, 1982). Sermat (dalam Peplau
& Perlman, 1982) berpendapat bahwa kesepian merupakan hasil dari
interpretasi dan evaluasi individu terhadap hubungan sosial yang dianggap tidak
memuaskan. Orang akan merasa kesepian bila intensitas hubungan social yang
diharapkannya tidak sesuai atau kurang dari apa yang merupakan kenyataannya.
Sedangkan Peplau
dan
Perlman (1982) mendifinisikan kesepian sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan, yang
terjadi
ketika hubungan social individu tidak berjalan sesuai yang diharapkannya. Young
(dalam
Perlman
& Peplau, 1982) menyatakan bahwa kesepian merupakan respon individu atas
ketidakhadiran yang dirasa sangat penting dari social
reinforcement.
Karakteristik kesepian adalah Fromm-Reichman,
Lopata, dan Young (dalam Yuniarti, 2002) menyebutkan karakteritik kesepian
adalah sebagai berikut: tidak terpenuhinya kebutuhan akan keakraban, hasil
persepsi dan evaluasi hubungan sosial yang kurang memuaskan, kurang adanya
reinforcement sosial.
Kecenderungan Internet
Addiction Disorder
Internet
addiction disorder adalah pola penggunaan internet
yang maladaptive, yang menghasilkan pengrusakan atau distress secara klinis
yang terwujudkan dalam tiga atau lebih kriteria
internet addiction disorder, yang
terjadi kapanpun selama 12 bulan yang sama (Goldberg, 1996). Orzack, (1999)
mendifinisikan internet addiction
disorder sebagai kelainan yang muncul pada
orang yang merasa bahwa dunia maya (virtual reality) pada layar komputernya lebih menarik
dari pada dunia kenyataan hidupnya sehari-hari.
Kriteria
diagnostik internet addiction disorder menurut
Goldberg (1996) adalah:
1). Toleransi, didifinisikan oleh salah satu dari hal-hal berikut:
a). Demi mencapai kepuasan, jumlah waktu penggunaan internet meningkat secara mencolok. b). Kepuasan
yang diperoleh dalam menggunakan internet secara terus menerus dalam jumlah
waktu yang sama akan menurun secara mencolok, dan untuk memperoleh pengaruh yang sama kuatnya seperti
yang sebelumnya, maka pemakai secara berangsur-angsur harus meningkatkan jumlah
pemakaian agar tidak terjadi toleransi.
2). Penarikan diri (withdrawal) yang khas. 3). Internet sering digunakan lebih sering atau lebih
lama dari yang direncanakan. 4). Terdapat keinginan yang tak mau hilang
atau usaha yang gagal dlam mengendalikan penggunaan internet. 5). Menghabiskan banyak waktu
dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan internet. 6). Kegiatan-kegiatan yang
penting dari bidang sosial, pekerjaan, atau rekreasional dihentikan karena penggunaan
internet. 7). Penggunaan internet tetap dilakukan walaupun mengetahui adanya masalah-masalah fisik,
sosial, pekerjaan, atau psikolgis yang kerap timbul dan kemungkinan besar disebabkan atau diperburuk oleh
penggunaan internet.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Untuk menjawab
hipotesis penelitian, digunakan dua instrumen penelitian yaitu: skala kesepian
yang disusun oleh Yuniarti (2002), memiliki 49 item valid, dengan koefisien validitas
berkisar 0,6261 sampai 0,9709, dan koefisien reliabilitas 0,9827. Skala
Kecenderungan Internet Addiction Disorder disusun berdasarkan kriteria diagnostik internet addiction disorder dari
Goldberg, (1996). Skala Kecenderungan Internet Addiction Disorder
memiliki 42 item yang valid, dengan koefisien
validitas berkisar 0,3039 sampai 0,6414, dan koefisien reliabilitas 0,9323. Selain itu, digunakan
pula kuisioner yang berisi sembilan (9) item yang diadaptasi dari Basyuni (2000),
untuk mengungkap pola penggunaan internet. Prestasi belajar diungkap dengan
melihat indeks prestasi kumulatif mahasiswa, yang merupakan data sekunder.
TEKNIK
ANALISIS DATA
Teknik analisis data yang digunakan
di dalam penelitian ini adalah teknik statistik regresi dan
teknik
statistik korelasi.
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian menunjukkan: 1). Tidak ada hubungan yang signifikan antara kesepian dengan
prestasi belajar mahasiswa (r = -0,204 dengan nilai signifikansi 0,078 (p >
0,05)). 2). Tidak ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan internet
addiction disorder dengan prestasi belajar mahasiswa (r = -0,013 dengan nilai
signifikansi 0,909 (p > 0,05)). 3). Tidak ada hubungan yang signifikan
antara kesepian dengan kecenderungan internet addiction disorder pada mahasiswa
(r = 0,200 dengan nilai signifikansi 0,083 (p > 0,05)). 4). Tidak ada peranan
kesepian dan kecenderungan internet addiction disorder yang signifikan terhadap
prestasi belajar mahasiswa, (F = 1,611 dengan nilai signifikansi 0,207 (p >
0,05)). Penelitian ini menemukan bahwa variabel kesepian dan kecenderungan
internet addiction disorder secara bersama-sama hanya memiliki peranan sebesar
4,20% terhadap prestasi belajar mahasiswa.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak ada peranan kesepian dan kecenderungan internet
addiction disorder yang signifikan terhadap prestasi belajar
pada mahasiswa, tidak ada hubungan yang signifikan antara kesepian dengan
prestasi belajar pada mahasiswa, tidak ada hubungan yang
signifikan antara kecenderungan internet
addiction disorder dengan prestasi belajar pada mahasiswa,
dan tidak ada hubungan yang signifikan antara kesepian dengan
kecenderungan internet addiction disorder pada
mahasiswa. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa subjek
penelitian memiliki
tingkat kesepian dan kecenderungan internet addiction disorder yang
rendah. Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi ditolaknya hipotesis,
yakni adanya variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar
mahasiswa, yaitu faktor internal dan eksternal mahasiswa. Selain itu, masih
terdapat kesenjangan digital yang sangat besar di Indonesia, dan kebanyakan
mahasiswa menggunakan internet karena adanya faktor pekerjaan, media informasi,
sekolah, dan memanfaatkan fasilitas internet lainnya. Jadi mahasiswa
menggunakan internet bukan
karena
kesepian.
REFERENSI :
REVIEW JURNAL 5
PERILAKU ADIKSI GAME-ONLINE
DITINJAU DARI EFIKASI DIRI
AKADEMIK DAN
KETERAMPILAN SOSIAL PADA
REMAJA DI SURAKARTA
Pradipta
Christy Pratiwi, Tri Rejeki Andayani, Nugraha Arif Karyanta
Program
Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi berupa
internet memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan di segala bidang
kehidupan. Hari ke hari internet menyuguhkan banyak penawaran yang menarik,
alih-alih menggunakan internet untuk menyelesaikan tugas sekolah atau
pekerjaan, kenyataannya banyak yang beralih pada game-online.
Fenomena perilaku adiksi game-online
di Kota Surakarta yang menunjukkan dampak negatif, pencurian oleh empat
orang remaja yang nekat mencuri handphone di Boss Seluler, Karangasem,
Laweyan, Surakarta karena kecanduan game-online Point Blank. (Wiratno, dalam
Joglosemar, 2011). Koordinator Yayasan Sahabat Kapas, Dian Sasmita
(Primartantyo, dalam Tempo.Co., 2012) menyatakan bahwa dalam enam bulan pertama
di tahun 2012 terdapat tujuh orang remaja yang melakukan pencurian demi bisa
bermain game-online. Soetjipto (2007) menyebutkan bahwa adiksi adalah
suatu gangguan yang sifatnya kumatkumatan atau kronis, ditandai dengan
perbuatan kompulsif yang dilakukan seseorang secara berulang-ulang untuk
mendapatkan kepuasan pada aktivitas tertentu. Istilah adiksi juga digunakan
untuk menyebut ketergantungan pada permasalahan sosial seperti judi, kompulsif
makan, adiksi shopping, bahkan internet khususnya game-online.
LANDASAN TEORI
Game-online semakin
popular dan menarik bagi banyak kalangan dari hari ke hari. Kemenarikan game-online
tidak hanya berlaku sesaat tetapi menimbulkan perilaku yang kompulsif bagi
penikmatnya. Tingkah laku ini menimbulkan istilah adiksi atau kecanduan. Adiksi
adalah suatu gangguan yang bersifat kronis dan kompulsif berulang-ulang untuk
memuaskan diri pada aktivitas tertentu (Soetjipto, 2007). Freeman (2008) yang
menyampaikan bahwa game-online merupakan permainan yang dimainkan melalui
koneksi internet.
Kecanduan game-online menjadi
aktivitas yang paling adiktif di internet. Perilaku adiksi gameonline adalah
perilaku yang bersifat kronis dan kompulsif untuk memuaskan diri pada permainan
yang dimainkan dengan koneksi internet hingga menimbulkan masalah dalam hidup
sehari-hari. Permasalahan yang timbul sifatnya merugikan diri sendiri, meskipun
demikian tidak membuat individu berusaha untuk menghentikan atau mengurangi
aktivitasnya bermain game-online karena individu merasa sulit untuk
keluar atau berhenti memainkan game-online.
Berdasarkan Teori Belajar Sosial
milik Bandura, dapat dikemukakan bahwa efikasi diri
yang
rendah akan menimbulkan resiko mengalami adiksi (Amstrong, Philips &
Sailing, 2000). Wan & Chiou (2006) yang meneliti remaja Taiwan yang
kecanduan game-online menemukan bahwa individu sangat mudah mengalami
kecanduan game-online karena mengalami permasalahan dengan efikasi diri
dan kesulitan mengontrol diri. Individu yang memiliki efikasi diri akademik
yang rendah akan sedikit menghabiskan waktunya pada aktivitas akademik sehingga
untuk mencapai kepuasan prestasi, mereka akan menghabiskan waktunya pada
aktivitas adiksi sebagai pengalihan ketidakmampuannya dalam bidang akademis,
yang sekarang sedang populer dan digemari remaja adalah bermain game-online.
Young (1996)
menemukan bahwa 53% individu yang mengalami kecanduan internet mempunyai
permasalahan dalam relasi sosialnya. Memulai relasi di dunia virtual lebih
mudah dari pada di kehidupan sosial nyata (Yee, dalam Maagsma, 2008). Melalui
dunia virtual, pecandu gameonline dapat menunjukkan kemampuannya yang
tidak dapat disalurkan di kehidupan nyata (Yee & Ko, et al., dalam
Maagsma, 2008). Pada individu yang memiliki karakteristik kemampuan untuk
berinteraksi secara sosial yang rendah atau keterampilan sosialnya buruk akan
mengalami permasalahan dalam membentuk dan mempertahankan relasi sosial di
dunia nyata sehingga individu tersebut akan beralih pada usaha membangun relasi
di dunia virtual melalui game-online. Berdasarkan uraian di atas, maka
efikasi diri akademik dan keterampilan sosial yang rendah dari individu dapat
mempengaruhi perilaku mengarah pada kecanduan atau adiksi game-online.
Permasalahan yang
ditimbulkan dari kecanduan game-online salah satunya berupa menurunnya prestasi
akademik (Yee, 2002). Di Indonesia, pada umumnya remaja masih duduk di bangku sekolah
menengah dan setingkatnya (Monks & Haditono, 2006). Hal tersebut membuat
prestasi akademik adalah hal yang penting bagi remaja. Remaja mulai berpikir
bahwa prestasi di masa remaja akan menentukan keberhasilannya di masa
selanjutnya (Santrock, 2008). Keinginan
untuk
berprestasi di bidang akademik ditentukan oleh faktor efikasi diri. Baron &
Byrne (2004)
menyebutkan
keyakinan diri seseorang mengenai kemampuan atau kecakapannya untuk melakukan
tugas akademik yang diberikan disebut academic self-efficacy atau
efikasi diri akademik.
METODE
PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah
remaja di Kota Surakarta yang memiliki karakteristik yaitu usia 13-18 tahun (masih
duduk di bangku SMP sampai dengan SMA) dan mengalami kecanduan game-online
(Young, 2004). Subjek penelitian ini sejumlah 76 remaja yang secara kebetulan
di lima game center yang terletak Surakarta. Sampling yang
digunakan adalah purposive incidental samping. Instrumen penelitian ini
menggunakan Game-online Addiction Test yang mengacu pada Internet
Addiction Test (Young, 1998) dengan 17 aitem valid dan reliabilitas
0,802. Skala Efikasi Diri Akademik menggunakan modifikasi dan adaptasi dari College
Academic Self Efficacy Scale (Froman & Owen, 1988) dengan 29 aitem
valid dan reliabilitas 0,828. Skala Keterampilan Sosial dengan 23 aitem valid
dan reliabilitas 0,813.
HASIL
PENELITIAN
Perhitungan dengan analisis regresi
berganda menghasilkan nilai Fhit 10,412 > Ftab 3,114 dan p = 0,000 (p <
0,05) serta R 0,471. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ada hubungan antara efikasi
diri akademik dan keterampilan sosial dengan perilaku adiksi game-online.
Arah hubungan kedua variabel prediktor dengan variabel kriterium adalah negatif,
dengan nilai rpar x1y = -0,363 (p = 0,001; p < 0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri akademik dengan
perilaku adiksi game-online. Nilai rpar x2y = -0,289 (p = 0,012; p <
0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara keterampilan
sosial dengan perilaku adiksi game-online. Nilai R square 0,222 berarti
efikasi diri akademik dan keterampilan sosial secara bersama-sama memberikan
kontribusi 22,2% pada perilaku adiksi game-online. Kontribusi efikasi diri
akademik sebanyak 13,5% dan keterampilan sosial 8,7% untuk variabel perilaku
adiksi gameonline.
KESIMPULAN
Dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi diri akademik yang dimiliki subjek
penelitian yang rata-rata tergolong tinggi mampu mengurangi keterlibatan
seseorang terhadap perilaku adiksi game-online. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku Adiksi Game-online adalah kontrol diri, motivasi dan kebutuhan psikologis
seperti keinginan berkuasa, keinginan berprestasi, kesepian. Frekuensi bermain gameonline
juga menjadi penyebab seseorang semakin terikat dan menjadi pecandu.
REFERENSI
:
http:// candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/